Cerita Pilu di Balik Derasnya Hujan Sore Itu…
Rabu, 30 November 2022 Jogja diguyur hujan deras. Sejak subuh hingga pagi siang dan sore hujan belum berhenti dengan intensitas yang bervariasi. Saya yang biasanya berangkat lebih memilih menggunakan motor sebagai alat transpostasi saya, hari ini terpaksa harus pakai gerobak karena hujan cukup deras.
Pukul 06.00
saya sudah sampai di madrasah. Seperti biasa, saya ingin hadir lebih awal dari
yang lain. Disamping agar bisa mempersiapkan segala sesuatunya lebih baik,
perjalanan pagi dengan lebih mruput bisa menghindarkan kita dari
kemacetan yang saat ini sungguh luar biasa terjadi di Jogja.
Beberapa anak
sudah berada di madrasah, dengan kondisi sedikit basah di beberapa bagian. Anak-anak
yang lain mulai berdatangan masih dalam kondisi hujan deras. Karena mayoritas
anak-anak diantar dengan kendaraan motor, maka kondisi hujan lebat seperti ini
sangat sulit bagi mereka untuk tidak basah. Bukan hanya di jalan, tapi resiko
basah juga bisa terjadi karena mereka keluar dari jas hujan di area yang
terbuka. Padahal 2 tahun yang lalu teras madrasah yang terbuka, sudah saya tambah
atap galvalum agar ketika hujan deras bisa digunakan oleh wali murid untuk menurunkan
siswa pada saat mengantar.
Karena saat
ini sedang berlangsung Penilaian Akhir Semester (PAS), apapun kondisinya mereka
berusaha agar bisa hadir di madrasah untuk mengikuti ujian. Beberapa diantara mereka
terlihat tidak memakai sepatu. Saya maklumi. Bahkan ada yang terpaksa harus
pulang lagi karena mereka bersepeda dan basah kuyup.
Hingga siang
menjelang sore, ternyata hujan belum berhenti. Pukul 14.00 lebih masih ada
beberapa siswa yang menunggu jemputan di depan madrasah. Pemandangan seperti ini
biasa terjadi. Bahkan kadang sampai sore. Inilah salah satu alasan saya sering pulang
akhir, untuk memastikan anak-anak sudah ada yang jemput. Beberapa kali saya
kadang juga harus mengantar anak pulang karena hingga waktu saya pulang belum
ada yang jemput.
Sore itu,
terlihat masih ada 4 siswi dan 1 siswa yang menunggu jemput’n. 4 siswi saya
tanya, sudah ada yang siap menjemput. Siswa yang duduk sendirian saya dekati
dan saya tanya “sudah ada yang mau jemput”?
“nggak tau
pak, belum nyambung” katanya
“biasanya
siapa yang jemput”
“Simbah.
Tapi sekarang masih kerja”.
“Lalu, kalo
nggak ada yang jemput gimana”?
“Biasanya
dipesankan gojek sama ibu. Tapi sekarang sudah nggak lagi”
“Kenapa?”
“Ibu pergi
dari rumah. Broken home pak”
Deg… hemmm.
“Rumah kamu
mana?”
“di xxxxxxxx
pak. Deket perumahan itu”
“Oo…nanti
bareng saya aja. Sejalur sama saya. Sebentar lagi saya pulang”. Saya coba
menawari. Tapi dia menolak.
“Nggak usah
pak. Saya nunggu aja”
Saya bujuk
lagi sambil saya temani ngobrol. Dan dari obrolan itu ada banyak kisah yang
menurut saya cukup berat ditanggung oleh anak seusia dia.
Kelas 4 SD
dia sudah harus tinggal bersama simbahnya karena problem orang tua. Ibunya
pergi dari rumah yang dulu ditempati bersama ayahnya. Karena kondisi itu,
akhirnya dia harus tinggal bersama dengan simbahnya bersama kakaknya. Sebab
ayahnya juga tidak bisa mengurus mereka.
Selang berapa
lama terdengar kabar ibunya sudah menikah lagi. Punya anak satu. Tapi ada
masalah lagi. Akhirnya ibunya pergi lagi. Lalu menikah lagi, dan punya anak
lagi, satu.
“Jadi saya
ini 4 bersaudara pak. Bapak saya 3”
Saya
mendengarkan sambil memperhatikan wajah polos siswa kelas VII ini. Tidak ada
lagi raut kesedihan di wajahnya. Mungkin karena sudah tertumpahkan beberapa tahun
sebelumnya.
“Dari 3
bapak itu, yang paling baik ya bapak yang sekarang ini. Masih mau kerja. Kalo
bapak yang dulu dulu itu nggak kerja. Dikasih motor malah digadaikan. Pernah mau
pinjam uang juga ke simbah saya, tapi tidak dikasih.”
Sampai di
sini saya membayangkan bagaimana masa kecil anak ini dan suasana keluarganya.
Pasti sangat tidak kondusif bagi perkembangan mentalnya. Bagaimana setiap hari
dia harus menyaksikan konflik yang terjadi dalam keluarga, yang seharusnya
menjadi tempat ternyaman bagi anak seusianya serta dikelilingi oleh orang-orang
yang menyayanginya.
Pembaca
yang budiman, anak-anak yang memiliki kasus hampir sama dengan siswa ini banyak
sekali. Anak-anak yang kehilangan masa kecilnya, bahkan sering menjadi
pelampiasan dari permasalahan yang terjadi pada orang-orang dewasa dalam
keluarganya. Dan sayangnya…banyak diantara mereka kemudian bermasalah dalam
belajarnya. Entah karena sikapnya yang menyimpang (jadi pembully, merokok,
bolos dll) atau hasil belajar yang rendah.
Oleh karena
itu, peran keluarga dalam mendukung kesuksesan belajar anak sangat penting. Orang
tua atau wali siswa harus bisa menciptakan kondisi keluarga yang bisa mendukung
suasana belajar anak menjadi nyaman, baik lahir maupun batin.
Posting Komentar untuk "Cerita Pilu di Balik Derasnya Hujan Sore Itu…"