Menjadi Guru Yang Bahagia
Beberapa
hari yang lalu saya membaca sebuah status WA teman yang berbunyi “Guru yang
bahagia akan melahirkan murid yang bahagia juga’. Entah kenapa status itu
selalu terngiang di telinga saya. Saya tidak berhenti memikirkannya. Karena ketika
membaca status itu saya teringat dengan kalimat lain yang barangkali bisa
menjadi lanjutan dari kalimat itu, yaitu “Semakin bahagia murid dalam belajar, akan
semakin baik hasilnya”.
Jika melihat
prestasi kebanyakan siswa di madrasah yang masih berada di bawah sekolah
tetangga, timbul pertanyaan, apakah ini indikator bahwa para gurunya tidak
bahagia, yang membawa dampak pada ketidakbahagiaan murid sehingga prestasi tidak maksimal? Tentu
tidak sesederhana itu menyimpulkan. Tapi bisa jadi ada benang merah yang bisa
ditarik ke sana.
Dalam sebuah leteratur lain saya bahkan menemukan sebuah kalimat yang lebih dahsyat, ‘Guru yang bahagia akan mengubah dunia’. Begitu besarnya peran guru bagi perubahan dunia ini, sehingga penting bagi kita untuk berusaha menjadi guru yang bahagia, yang bisa membuat murid bahagia juga, dan pada gilirannya akan melahirkan generasi-generasi yang bisa mengubah dunia.
Tujuan mengajar
atau mendidik sama dengan berdakwah, yaitu mengajak orang lain menuju kepada arah
yang lebih baik, dari kegelapan menuju ke jalan terang (min ad-dhulumat ila
an-nnur). Salah satu prinsip dalam
berdakwah adalah membuat orang yang diajak merasa senang dan tidak lari dari
kita. Dalam konteks ini Nabi pernah
menyampaikan pesan ketika mengutus sahabat Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa Al
Asy’ari -radhiyallahu ‘anhumaa- untuk berdakwah ke Yaman, beliau mengatakan
kepada keduanya:
“Berilah kemudahan dan jangan
mempersulit, Berilah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari..” [HR
Bukhari dan Muslim].
Pesan ini
nampaknya singkat, tapi maknanya luas dan mendalam. Ketika kita berniat
mengajak orang lain menuju kepada kebenaran, termasuk mengajak orang lain untuk
memahami suatu pengetahuan yang baru, maka gunakanlah metode yang mudah dan
dengan cara yang menyenangkan, jangan menyulitkan dan membuat takut, hingga
mereka lari dari kita.
Bahkan dalam
al-Qur’an, Allah mengingatkan Rasul untuk bersikap lembut dan tidak kasar:
“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” (Q.S. Ali Imron: 159)
Dalam
konteks pembelajaran, ayat dan hadis di
atas bisa dimaknai dengan menciptakan suasana kelas yang kondusif sehingga
membuat siswa merasa mudah dan gembira dalam belajar, tidak membuat mereka
takut dan lari. Kelas yang aman, nyaman dan selalu mendukung mereka untuk terus
belajar dan berusaha, akan menumbuhkan motivasi dalam diri mereka untuk
belajar.
Suasana
pembelajaran yang menyenangkan ini penting dibangun, Karena suasana yang
menyenangkan, perasaan aman dan bahagia akan membuat otak anak banyak
memproduksi hormon serotonin dan endhorphin. Dengan kedua hormon
yang dominan ini otak anak akan berkembang dan mudah untuk belajar. Otak
seolah-olah menjadi terbuka sehingga anak mudah belajar (Dr. Jarot Wijanarko:
Mendidik anak dengan hati). Karena itu tidak heran jika terkadang anak bisa
mudah paham ketika belajar kelompok dengan teman-temannya, daripada ketika
diterangkan oleh gurunya.
Seperti apa
sih pembelajaran yang menyenangkan itu?
Di dunia
pendidikan, sebenarnya sejak beberapa tahun yang lalu kita sudah dikenalkan
dengan sistem pembelajaran yang menyenangkan. Dimulai pada tahun 1999 dengan
istilah PEAM (Pembelajaran Aktif Menyenangkan) yang merupakan pengembangan dari
AJEL (Active Joyful and Effective Learning). Lalu pada tahun 2002 berkembang
menjadi PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif Menyenangkan), dan berkembang
lagi pada tahun 2005 menjadi PAIKEM (Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif
Efektif Menyenangkan). Yang terakhir ini kemudian lebih dikenal luas ketika
keluar UU nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang mengamanatkan salah
satu materi pokok yang harus diberikan pada
PLPG adalah PAIKEM.
Menurut pada
ahli, meskipun dari tahun ke tahun ada perubahan istilah dalam sistem
pembelajan di sekolah, tapi ada satu kaca kunci utama keberhasilan pembelajaran
yang harus dipegang, yaitu “Menyenangkan”. Ini berarti, suasana yang
menyenangkan semestinya sudah dibangun sejak awal pembelajaran.
Jangan salah
mengartikan istilah pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning). Banyak memberi
selingan dengan joke-joke ketika mengajar, bernyanyi bersama dan tepuk
tangan memang menyenangkan. Tapi bukan itu yang dimaksud dengan joyful
learning di sini. Apalagi kalau materi leluconnya adalah lulucon
murahan. Joyful learning adalah proses pembelajaran yang dapat dinikmati oleh
siswa. Siswa merasa aman, nyaman, dan enjoy dalam belajar. Ada motivasi dalam dirinya yang tumbuh untuk mendorongnya
mencari tahu apa yang belum diketahuinya.
Begitu
pentingnya menciptakan suasana kelas yang menyenangkan ini, sehingga Dave
Meier, dalam bukunya yang berjudul The Accelerated Learning Handbook menegaskan bahwa penciptaan kegembiraan jauh
lebih penting daripada segala teknik metode maupun media yang digunakan.
Menurut
Muhibbin Syah dan Rahayu Kariadinata dalam Bahan Pelatihan PAIKEM, ada
beberapa ciri pembelajaran yang menyenangkan, yaitu:
· Adanya
lingkungan yang rileks, menyenangkan, tidak membuat tegang (stress), aman,
menarik, dan tidak membuat siswa ragu melakukan sesuatu meskipun keliru untuk
mencapai keberhasilan yang tinggi;
· Terjaminnya
ketersediaan materi pelajaran dan metode yang relevan;
· Terlibatnya
semua indera dan aktivitas otak kiri dan kanan;
· Adanya
situasi belajar yang menantang (challenging) bagi peserta didik untuk berpikir
jauh ke depan dan mengeksplorasi materi yang sedang dipelajari;
· Adanya
situasi belajar emosional yang positif ketika para siswa belajar bersama, dan
ketika ada humor, dorongan semangat, waktu istirahat, dan dukungan yang
enthusiast.
Kondisi
kelas dengan proses pembelajaran seperti diatas tentu harus disiapkan secara
matang oleh seorang guru. Guru dituntut untuk selalu mengupgrade pengetahuannya
bagaimana mengajar yang baik. Dengan persiapan yang matang, maka dia akan bisa
masuk kelas dengan penuh percaya diri. Dan itu membuat bahagia.
Berbeda
dengan guru yang tidak menyiapkan apapun ketika akan mengajar, bahkan materi
yang akan diajarkan pun belum tahu sampai di mana, maka ketika sampai di dalam
kelas tentu suasana batinnya akan berbeda. Fokusnya tidak akan pada bagaimana
dia akan menyampaikan materi dan membuat para siswanya mengerti, tapi justru
pada kondisi kelas yang ada pada saat itu. Sehingga dia marah melihat siswa
tidur, marah melihat siswa berbicara sendiri, dan sebagainya. Padahal siswa
tidur atau berbicara sendiri, penyebabnya adalah karena pembelajaran yang tidak
menarik karena tidak dipersiapkan dengan matang. Pembelajaran seperti ini akan
membuat siswa tidak berkembang. Tidak berani bicara karena takut salah, takut
ditertawakan dan takut diremehkan oleh teman lain, bahkan oleh gurunya sendiri.
Agus
Suwarno, seorang guru dari Banyumas pernah menulis bahwa indikasi seorang guru
tidak bahagia dalam menjalankan tugasnya adalah terlalu seringnya
mengeluh.Keluhan-keluhan ini muncul sebagai bentuk kekecewaan-kecewaan terhadap
pekerjaan yang dijalaninya. Guru dengan karakter tersebut, berpotensi
menularkan perilaku buruknya kepada orang-orang disekitarnya. Bahkan dalam
menjalankan tugas-tugasnya cenderung menyakiti peserta didik baik secara fisik
maupun psikis.
Maka sekali
lagi, penting bagi kita untuk menjadi guru yang bahagia. Bagaimana caranya?
Pertama; Niatkan kegiatan mengajar dan mendidik
ini sebagai ibadah. Dengan begini kita akan lebih ikhlas dan tulus dalam
menjalankan tugas ini. Dengan sikap ini kita akan lebih ringan dalam menghadapi
segala hambatan dalam mengajar. Sebaliknya ketidak ikhlasan hanya akan membuat
kita sering terjatuh pada kekecewaan yang menimbulkan ketidakbahagiaan. Dengan
keikhlasan juga, kita lebih mengedepankan imbalan yang bersifat ukhrowi
dibanding duniawi. Berat? Tidak, asal kita mau melatih diri kita. Apalagi bagi
guru madrasah di bawah binaan kementerian agama, tentu banyak dukungan ke arah
ini.
Kedua; Jadilah guru profesional. Ketika
mengikuti pembinaan di sebuah acara beberapa tahun lalu, saya masih ingat salah
satu kalimat yang diucapkan oleh pemateri waktu itu. ‘Jika ingin bahagia
jadi guru, maka jadilah guru yang profesional’. Dalam penjelasannya beliau
mengatakan ada banyak guru tidak bahagia, karena tidak profeisonal. Mau mengajar
materi tidak siap, maka di kelas dia tidak akan merasa nyaman. Administrasi
tidak lengkap, ketika ada pemeriksaan dia tidak akan bahagia, dan lain
sebagainya. Bahkan, dengan menjadi guru profesional, pada giliranya
kesejahteraan yang bisa mendukung untuk menjadi bahagia, akan mengikutinya.
Ketiga; Bersikaplah terbuka dengan perubahan.
Barangkali banyak diantara kita yang sudah terbiasa mengajar dengan cara
konvensional. Jika ada cara yang lebih baik, sambutlah. Kita harus mulai
menyesuaikan diri dengan dinamika perubahan yang begitu cepat. Percayalah, jika
semua ini dijalani dengan hati terbuka, maka proses ini akan membahagiakan.
Sebagai penutup tulisan pendek ini, sekali lagi saya ingin mengajak para guru untuk berusaha menjadi happy teacher, karena semakin bahagia seorang guru dalam menjalankan tugasnya maka semakin meningkat pula kualitas pembelajaran yang dilakukan. Guru yang bahagia akan berusaha meningkatkan kualitas pembelajaran dengan berbagai cara. Dan seorang guru yang bahagia akan menularkan kebahagiaan terhadap peserta didik dan rekan kerjanya. Mari, sebagai pendidik kita berusaha menularkan kebahagaiaan kepada peserta didik kita dengan berusaha menjadi guru yang bahagia dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Posting Komentar untuk "Menjadi Guru Yang Bahagia"